“Kami menikmati malam di Kadipolo setelah Arseto menang di Stadion Sriwedari, Solo,” kata Ricky. “Di sana pula kami bersedih ketika Arseto kalah,” ia menambahkan. Kadipolo adalah mes pemain yang letaknya di Kampung Panularan.
Di sana, 17 tahun lalu, selama hampir 11 tahun Ricky bergabung dengan Arseto Solo, yang juga dikenal sebagai salah satu pionir berdirinya Liga Sepak Bola Utama atau Galatama pada 8 November 1978. Arseto–berdiri di Jakarta pada 1978 dan bermarkas di Solo sejak 1983–bubar setelah menjalani pertandingan yang kemudian menjadi laga terakhir anak-anak Kadipolo di Stadion Sriwedari, Solo, pada 6 Mei 1998. Pertandingan melawan Pelita Jaya itu disebut sebagai penyulut kekacauan di Kota Solo.
Malam itu, pada awal babak kedua, pertandingan tak dilanjutkan karena penonton yang membeludak seketika merangsek ke tepi lapangan. Situasi kemudian menjadi tak terkendali tidak hanya di dalam, tapi juga ke luar stadion dan sepanjang Jalan Slamet Riyadi. Bangunan-bangunan yang ada di sana hancur. Solo yang pendiam seketika berubah menjadi Solo yang beringas.
Arseto bubar. Namun, denyut nadi sepak bola tak lantas berhenti di Kota Solo. Dua tahun setelah malam yang mencekam itu berlalu, Pelita Jaya kembali ke Solo. Pada musim kompetisi 2000/2001, klub milik Nirwan Dermawan Bakrie itu resmi bermarkas di Solo. Malam-malam indah pemain Pelita, seperti yang pernah dialami anak-anak Arseto, kemudian bersemi di Stadion Sriwedari.
Pelita hanya bertahan satu musim dan kemudian pindah ke Cilegon dengan nama Pelita Krakatau Steel. Solo kembali ditinggal klub sepak bola yang telanjur mereka cintai. Namun, Solo terlalu manis untuk dilupakan. Satu tahun kemudian, manajemen Persijatim memutuskan bermarkas di Solo dengan nama Persijatim Solo FC. Bertahan dua musim kompetisi (2002/2003 dan 2003/2004), Persijatim kemudian dijual ke Palembang dan berganti nama menjadi Sriwijaya FC.
Gol-gol indah yang pernah dipersembahkan anak-anak Arseto, Pelita Jaya, dan Persijatim kelak membuktikan sepak bola tak boleh mati di sana. Semula saya menduga sepak bola tak bisa dinikmati di Solo lantaran tak ada lagi klub yang mau bermarkas di sana. Sedangkan Persis Solo masih bermain di Divisi I. Tanda-tanda kehidupan mulai terlihat ketika Laskar Samber Nyawa–julukan Persis–promosi ke Divisi Utama pada musim 2007/2008. Tapi Persis harus menerima kenyataan bahwa musim selanjutnya sudah diberlakukan Liga Super, kompetisi tertinggi di Tanah Air. Persis tak mampu melawan klub-klub elite dan tetap tinggal di Divisi Utama.
Persis adalah raksasa di masa lalu. Tapi kini kondisi raksasa itu sungguh menyedihkan. Tujuh kali menjadi juara Perserikatan (1935-1948) tak cukup bagi manajemen Persis menghidupi klub setelah anggaran pendapatan dan belanja daerah tak lagi mengucur.
Saya tidak pernah membayangkan nasib pemain sepak bola tidak lebih baik dibanding seniman panggung di Solo seperti dialami pemain-pemain Persis. Mereka tak terikat kontrak. Untuk mengatasi kesulitan keuangan klub, pengelola membuat kebijakan yang tidak bisa diterima asal sehat. Para pemain dibayar per pertandingan dan sumber dana itu bergantung pada pemasukan tiket. “Tiket pertandingan dapat berapa, nanti yang akan dibagikan ke pemain,” kata Ketua Umum Persis F.X. Rudyatmo, seperti yang dilansir Suara Merdeka pada awal November lalu.
Sungguh menyedihkan. Ini semua tidak bisa diterima jika para pemain Persis tak memiliki cinta seperti cinta para seniman panggung wayang orang di kota yang hidup pada malam hari itu. Hampir setiap malam di Taman Sriwedari, Solo, yang letaknya tak jauh dari mes pemain Persis, mereka menghibur pengunjung sekalipun yang datang hanya 20 orang. Lakon Sakuntala dari Mahabharata dengan pesan moral kesetiaan telah merasuk ke hati para pemain Persis, yang sekaligus menandakan sepak bola tak boleh mati di sana.
(Koran Tempo, Minggu, 29 Nopember 2009, Ilustrasi Imam Yunni)
Dikutip dari :
- http://yonmoeis.wordpress.com/2009/11/29/arseto-persis-dan-sepak-bola-tak-boleh-mati-di-solo/
- Yon Moeis
Wartawan Tempo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar