Tampilkan postingan dengan label persis solo. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label persis solo. Tampilkan semua postingan

Selasa, 08 Februari 2011

Happy 11th Anniversary PASOEPATI

Hari ini Rabu 9 Februari 2011 adalah hari besar bagi warga soloraya, yah.. pada hari yang sama sebelas tahun yang lalu sebuah wadah bagi kelompok suporter soloraya terlahir dengan selamat.


Sebelas tahun telah berlalu dan seiring berjalannya waktu Pasoepati telah menjadi salah satu dari beberapa kelompok suporter yang disegani selain Aremania, The Jack, Viking, atau Bonek. Tidaklah mengherankan karena Pasoepati walaupun berasal dari Solo namun dukungan yang signifikan juga diberikan oleh masyarakat sekitar solo seperti Karanganyar, Sragen, Sukoharjo, Wonogiri, Boyolali, Klaten, bahkan Madiun dan Salatiga.

Hijrahnya Pelita Solo dari kota bengawan di tahun 2003  dan Persijatim Solo FC yang berreinkarnasi menjadi Sriwijaya FC di tahun 2006 tidak membuat Pasopati menjadi mati, kreatifitas mereka alihkan  untuk mendukung tim asli kota Solo yaitu PERSIS SOLO yang beraksi di divisi satu, dan dengan dukungan yang luar biasa besarnya PERSIS SOLO berhasil menembus kasta tertinggi sepakbola pada saat itu.

Loyalitas ??? saya tidak ingin menjawabnya tapi Gelar Suporter Terbaik Tahun 2010 yang disematkan oleh situs Jakarta Casual adalah bukti nyata. Saat itu pada tahun 2010 adalah titik terendah bagi PERSIS SOLO dalam beberapa tahun terakhir, tidak adanya sokongan dana dari Pemkot SOLO membuat nasib PERSIS ketar ketir, sempat memutuskan tidak akan mengikuti kompetisi karena tidak adanya sumber dana membuat PASOEPATI bergerak dan akhirnya di saat - saat terakhir PERSIS mengumumkan keikut sertaanya dalam kasta kedua kompetisi sepakbola Indonesia yaitu Divisi Utama. Dengan kondisi seadanya plus hengkangnya pemain - pemain pilar macam Wahyu Tanto, Anindito, serta penjaga gawang kesayangan Wahyu Tri Nugroho dan pelatih bertangan dingin Eduard Tjong membuat permainnan PERSIS cenderung membosankan untuk dilihat.

Beberapa kemenangan diawal musim seakan tidak berarti karena di tengah - tengah musim kekalahan menjadi makanan pokok dan tidak ada kata lain selain degradasi. Namun atmosfir Stadion Manahan Tidak pernah berubah,di tribun stadion dalam setiap laga kandang Pasoepati seolah mengecat beton - beton tempat duduk menjadi MERAH MENYALA. Walau hal itu tidak sanggup menolong Persis namun catatan rata - rata 15000 penonton dalam setiap laga kandang adalah hal yang luar biasa. salute.....

Banyak hal yang perlu dibenahi dalam umurnya yang ke 11 ini lagu - lagu yang tidak mengarah untuk menyuport pemain atau menekan lawan masih banyak terdengar dalam setiap pertandingan, tawuran antar kelompok yang sama - sama memakai baju Pasoapati juga masih terlihat, lemparan - lemparan dari tribun ke lapangan, dan permusuhan dengan kelompok suporter lain yang sama - sama berbendera MERAH - PUTIH masih terjadi.

Well dengan ulang tahun ke 11 ini serta lahirnya sebuah klub baru bernama SOLO FC semoga menjadi titik perubahan dengan menjadi pelopor suporter yang anti anarki, anti rasis, anti politik, dan anti terhadap segala bentik permusuhan yang memalukan. Ok saya bagian kecil dari pasoepati mengucapkan

          Happy 11th Anniversary PASOEPATI
kalian yang terbaik...
SAETAMA

Senin, 22 Maret 2010

Arseto, Persis, dan Sepak Bola Tak Boleh Mati di Solo

Tidak setetes pun air mata yang tumpah ketika Sigit Harjojudanto membubarkan Arseto Solo. Klub yang bermarkas di gedung tua di Kadipolo itu dibubarkan pada 1998 tanpa alasan jelas. Alih-alih bersedih, sebagian pemain, sebut saja Ricky Yakobi, Eddy Harto, Edward Tjong, Nasrul Koto, Inyong Lolombulan, dan Yunus Muchtar, menyimpan klub itu di hati masing-masing.


“Kami menikmati malam di Kadipolo setelah Arseto menang di Stadion Sriwedari, Solo,” kata Ricky. “Di sana pula kami bersedih ketika Arseto kalah,” ia menambahkan. Kadipolo adalah mes pemain yang letaknya di Kampung Panularan.

Di sana, 17 tahun lalu, selama hampir 11 tahun Ricky bergabung dengan Arseto Solo, yang juga dikenal sebagai salah satu pionir berdirinya Liga Sepak Bola Utama atau Galatama pada 8 November 1978. Arseto–berdiri di Jakarta pada 1978 dan bermarkas di Solo sejak 1983–bubar setelah menjalani pertandingan yang kemudian menjadi laga terakhir anak-anak Kadipolo di Stadion Sriwedari, Solo, pada 6 Mei 1998. Pertandingan melawan Pelita Jaya itu disebut sebagai penyulut kekacauan di Kota Solo.

Malam itu, pada awal babak kedua, pertandingan tak dilanjutkan karena penonton yang membeludak seketika merangsek ke tepi lapangan. Situasi kemudian menjadi tak terkendali tidak hanya di dalam, tapi juga ke luar stadion dan sepanjang Jalan Slamet Riyadi. Bangunan-bangunan yang ada di sana hancur. Solo yang pendiam seketika berubah menjadi Solo yang beringas.

Arseto bubar. Namun, denyut nadi sepak bola tak lantas berhenti di Kota Solo. Dua tahun setelah malam yang mencekam itu berlalu, Pelita Jaya kembali ke Solo. Pada musim kompetisi 2000/2001, klub milik Nirwan Dermawan Bakrie itu resmi bermarkas di Solo. Malam-malam indah pemain Pelita, seperti yang pernah dialami anak-anak Arseto, kemudian bersemi di Stadion Sriwedari.

Pelita hanya bertahan satu musim dan kemudian pindah ke Cilegon dengan nama Pelita Krakatau Steel. Solo kembali ditinggal klub sepak bola yang telanjur mereka cintai. Namun, Solo terlalu manis untuk dilupakan. Satu tahun kemudian, manajemen Persijatim memutuskan bermarkas di Solo dengan nama Persijatim Solo FC. Bertahan dua musim kompetisi (2002/2003 dan 2003/2004), Persijatim kemudian dijual ke Palembang dan berganti nama menjadi Sriwijaya FC.

Gol-gol indah yang pernah dipersembahkan anak-anak Arseto, Pelita Jaya, dan Persijatim kelak membuktikan sepak bola tak boleh mati di sana. Semula saya menduga sepak bola tak bisa dinikmati di Solo lantaran tak ada lagi klub yang mau bermarkas di sana. Sedangkan Persis Solo masih bermain di Divisi I. Tanda-tanda kehidupan mulai terlihat ketika Laskar Samber Nyawa–julukan Persis–promosi ke Divisi Utama pada musim 2007/2008. Tapi Persis harus menerima kenyataan bahwa musim selanjutnya sudah diberlakukan Liga Super, kompetisi tertinggi di Tanah Air. Persis tak mampu melawan klub-klub elite dan tetap tinggal di Divisi Utama.

Persis adalah raksasa di masa lalu. Tapi kini kondisi raksasa itu sungguh menyedihkan. Tujuh kali menjadi juara Perserikatan (1935-1948) tak cukup bagi manajemen Persis menghidupi klub setelah anggaran pendapatan dan belanja daerah tak lagi mengucur.

Saya tidak pernah membayangkan nasib pemain sepak bola tidak lebih baik dibanding seniman panggung di Solo seperti dialami pemain-pemain Persis. Mereka tak terikat kontrak. Untuk mengatasi kesulitan keuangan klub, pengelola membuat kebijakan yang tidak bisa diterima asal sehat. Para pemain dibayar per pertandingan dan sumber dana itu bergantung pada pemasukan tiket. “Tiket pertandingan dapat berapa, nanti yang akan dibagikan ke pemain,” kata Ketua Umum Persis F.X. Rudyatmo, seperti yang dilansir Suara Merdeka pada awal November lalu.

Sungguh menyedihkan. Ini semua tidak bisa diterima jika para pemain Persis tak memiliki cinta seperti cinta para seniman panggung wayang orang di kota yang hidup pada malam hari itu. Hampir setiap malam di Taman Sriwedari, Solo, yang letaknya tak jauh dari mes pemain Persis, mereka menghibur pengunjung sekalipun yang datang hanya 20 orang. Lakon Sakuntala dari Mahabharata dengan pesan moral kesetiaan telah merasuk ke hati para pemain Persis, yang sekaligus menandakan sepak bola tak boleh mati di sana.
(Koran Tempo, Minggu, 29 Nopember 2009, Ilustrasi Imam Yunni)

Dikutip dari : 
  • http://yonmoeis.wordpress.com/2009/11/29/arseto-persis-dan-sepak-bola-tak-boleh-mati-di-solo/
  • Yon Moeis
    Wartawan Tempo

Sabtu, 21 November 2009

Antara Solo dan Lamongan

Menarik, jika melihat klasemen sementara ISL sd 18 Nov 2009. Yah pemuncaknya adalah Persela Lamongan yang notabenya berasal dari kabupaten kecil di Jawa Timur. Raihan 13 poin dan belum pernah terkalahkan dari 5 kali main adalah hal yang luar biasa.

Hmm bila dibanding Solo memang tak ada apa apanya, tapi soal bola komitmen orang Lamongan jauh di atas meninggalkan Solo. Kucuran dana 14,5 M menggambarkan arti pentingnya sepakbola bagi publik Lamongan. Tak seperti Pemkot Solo yang serta merta mencampakan begitu saja tim kebanggaan Kota Solo yaitu PERSIS dengan tak memberikan asupan dana pada musim ini.

LA mania pun mungkin kalah pamor dengan Pasoepati, pun demikian kemegahan Stadion Surajaya memang tak ada apapanya dibanding Manahan. Tapi patokan target 120 juta dari ticketing untuk setiap laga kandang adalah gambaran loyalitas LA mania.

Yah hal diatas menjadi tantangan tersendiri bagi Pasoepati dan segenap orang bola di Solo untuk menjaga eksistensi Persis tercinta. Semoga musim depan Persis dapat berjumpa Persela dalam ISL edisi ke-3. Amien. .

Senin, 09 November 2009

Lelucon Cicak Vs Buaya

Sampai hari ini masi kencang angin yang dihembus dengan membawa judul Cicak vs Buaya. Kasus yang melibatkan 3 unsur hukum ini akhirnya memaksa saya untuk mengeluarkan pendapat saya sebagai orang awam. Bukan karena plagiat, tapi untuk membuktikan dari tulisan saya yang terdahulu yaitu Agustus, merdeka? Part II

Disana saya sebutkan bahwa kemerdekaan yang selama ini kita banggakan hanyalah semu belaka. Memang secara militer kita merdeka, tapi lainnya? Nothing.

Kasus yang melibatkan orang - orang dalam KPK, JAKSA AGUNG, POLRI membuktikan bahwa dalam hukum, rakyat Indonesia belumlah merdeka. Ada perbedaan nyata dan sangat mencolok ketika si kaya dan si miskin berhadapan dengan hukum. Mungkin pelepasan Anggodo cuma satu dari sekian kontroversi.

Saya memang awam tentang hukum tapi saya bukanlah keledai. Coba bandingkan dengan kasus Nova zaenal yang ditahan hanya dengan hitungan jam, padahal saya kira kasus itu masih biasa ditangani Pssi sebagai pementas laga Persis solo vs Gresik United kala itu. Atau perbandingan secara frontal pernah saya mendengar bahwa seseorang pengendara sepeda motor ditilang karena tutup pentilnya hilang.

Dari situ dapat saya mengambil kesimpulan bahwa kelemahan ada pada para penegak hukum. Semestinya mereka sadar karena rakyat telah mengeluarkan banyak uang untuk menggaji mereka. Rakyat yang menggaji bung !! Bukan Presiden bukan MPR bukan juga DPR. Dan jika ingin gaji dari pengusaha tinggalkan jabatan anda dan jadilah budak mereka. Masih banyak warga pengangguran yang loyal terhadap negara yang sanggup mengganti anda. Salam perubahan. . .